Awan Cumulonimbus Itu


Hari itu, Rabu 17 November 2008. Jam sudah menunjukkan pukul 17.30, sejenak kuberanjak dari depan TV menuju keluar rumah. Tampaknya akan turun hujan lebat sebentar lagi. Langit gelap seperti sudah pukul 18.30 saja. Awan Cumulus Nimbus menyebar merata sampai tak kelihatan lagi setitik pun dari langit yang tampak terang. Kuperhatikan arah gerakan awan untuk mengetahui arah angin . Ternyata awan-awan itu bergerak ke selatan. Nampaknya tidak bisa tidak, sore ini akan turun hujan, hujan yang sangat lebat. Mungkin menyambung hujan tadi pagi yang sempat tertunda.

Sewaktu SMA dulu guru Geografiku pernah mengajarkan cara membaca awan untuk mengetahui apakah hujan akan turun atau tidak. Dengan ekspresifnya beliau mengatakan, ”lihatlah awan,(sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke udara layaknya seperti orang yang sedang berdoa), apabila iya bergerak ke utara ataupun ke arah Timur laut,  semendung apapun hari itu, hujan tidak akan turun. Namun sebaliknya, jika angin menggerakkan awan-awan itu ke arah selatan ataupun barat daya, maka tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa hujan akan segera turun walau sesenior apapun PAWANG yang mencoba menahan atau mengalihkannya”.

  Yaa, pawang, kawan. Jika selama ini kalian hanya pernah mendengar pawang harimau, pawang buaya, pawang ular ataupun pawang jenis hewan lainnya, dikampungku juga ada yang namanya pawang hujan. Seseorang yang katanya memiliki kemampuan menahan hujan atau menghalau agar hujan tidak turun di tempat itu. Kalau di Film Kera sakit, ya…semacam dewa pengatur cuaua,gitu.Luar Biasakn…??!!
Tapi seorang pawang hujan bukan berarti seorang dewa ataupun salah satu keturunan terakhir dari suku air di film Avatar the legend of Aang itu. Bukan kawan,sama sekali bukan.Mereka hanyalah manusia biasa seperti kita juga. Lihat Disini.

Ironisnya lagi, ada satu pawang hujan di kampung kami yang hobinya  mabuk-mabukan. Sampai-sampai, mabuk atau tidak, baik mata, gaya berjalan, dan gaya bicaranya sama seperti saat dia mabuk, saking tekunnya dia menggeluti hobbinya itu. Jadi singkat cerita, ketika ada keluarga yang masih yakin dengan kemampuan si pawang hujan itu, hendak melaksanakan hajatan tertentu seperti pesta pernikahan misalnya, tidak jarang dia dipanggil untuk mengendalikan hujan yang akan turun sehingga tidak jadi turun. Dan hebatnya lagi, hujan memang benar-benar tidak jadi turun. 

Tapi, setelah mendengar cerita tentang pawang hujan yang satu itu, aku sering bertanya pada diriku sendiri. “sebenarnya yang mabuk itu siapa?, pawang hujannya atau yang memanggil pawang itu….???”

Hadeehhh…

Memang kehidupan selalu mempertontonkan hal-hal yang menarik untuk diamati.

Tapi walaupun demikian, sedikit kuberitahu rahasia kepada kalian tentang pawang hujan itu kawan. Rahasia yang aku harap hanya aku dan kalian yang mengetahuinya.


“pawang hujan yang kita bicarakan di atas, yang kerjanya mabuk-mabukan itu, ternyata masih memiliki hubungan darah denganku. Atau dengan kata lain dia masih keluarga dekatku……”


(Kenyataan terkadang agak pahit walaupun mau gak mau harus kita terima…)




Sudahlah, sjenak kita tinggalkan dulu “keluarga dekatku itu”. 

Ilmu membaca awan itulah yang meyakinkanku bahwa hujan akan turun sebentar lagi. Walaupun demikian, tetap kuambil kunci sepeda motorku, terus kupacu ke tempat kerja ayahku. Dengan harapan hujan tidak akan turun sebelum aku dan ayahku tiba kembali di rumah.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………….


 Ayahku……, ya, ayahku. Ayahku adalah ayah nomor satu di dunia, seperti kata Andrea Hirata. Usianya sekarang sudah lebih lima puluh, 57 tahun tepatnya. Namun diusianya yang senja itu tetap tertanam semangat untuk terus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sewajarnya, diusianya yang sudah tidak muda lagi itu beliau tidak pantas bekerja “sekasar” ini....



Ayahku seorang pekerja bangunan, yang ada tidaknya pekerjaannya tergantung pada ada tidaknya orang yang berniat merenovasi atau membangun rumah. Pernah suatu ketika saat aku duduk dibangku sekolah menengah pertama, selama hampir satu bulan penuh ayah tidak bekerja. Tidak ada permintaan untuk bekerja sama sekali. Waktu itu setiap pulang dari sekolah sering kudapati ibuku menangis di dalam kamar. Bukan karena sakit ataupun bertengkar dengan ayahku, tetapi karena tidak adanya yang akan dimakan pada hari itu. Kalau kalian tahu bayam hutan yang daunya lebar-lebar  dan batangnya dipenuhi duri itu, itulah yang hampir setiap hari menjadi menu makan siangku. Bayam hutan direbus tanpa garam dan ditambah nasi dingin dua hari kemarin tentunya. Bayam yang didapat ayah dari hutan atau lebih tepatnya semak belukar yang terdapat dibelakang rumah kami. Mataku sering berkaca-kaca jika mengingat masa-masa itu. Saat itu aku belum  bisa merasakan betapa besarnya beban yang tertahan di dada ayahku melihat anak dan istrinya dalam keadaan seperti itu. Pasti tanpa sepengetahuan kami beliau sering menangis karena tidak bisa memberikan apa yang semestinya diberikan  seorang kepala rumah tangga kepada keluarganya. Tapi tidak sekalipun beliau menangis ataupun kelihatan sedih di depan kami. Mungkin ayah tidak ingin  menambah beban kami dengan melihatnya dalam keadaan seperti itu, biarlah dia sendiri yang menanggung perasaan itu, demikian mungkin yang ia pikirkan. Tapi aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa jauh didalam hatinya terpendam keinginan untuk dapat memberikan yang terbaik kepada keluarga, walau setiap hari ia harus bermandikan peluh dan keringat. Walau setiap hari ia harus bangun dari tempat tidurnya dengan penuh paksaan,  sebab rasa letihnya kemarin belum sepenuhnya terhapus oleh tidurnya  tadi malam. Keinginan yang mungkin sama dengan keinginan yang dimiliki oleh kebanyakan pejabat pemerintahan di Negara kita ini. Saking besarnya keinginan itu, sampai-sampai apa yang seharusnya menjadi hak orang lain dikuras habis dengan berbagai cara hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sosok itulah yang mendorongku untuk tetap memacu sepeda motorku di bawah gelapnya awan sore itu. Hanya satu tujuanku, menjemputnya pulang dari tempat kerjanya. Perlahan-lahan tetesan hujan mulai turun, menabrak kaca pelindung wajah dari helm yang aku pakai. Semakin cepat kupacu sepeda motorku, semakin keras pula hantamannya. Rasanya seperti diberondol dengan ribuan bahkan jutaan peluru air yang ditembakkan dari senapan mesin otomatis.

Sebenarnya jarak dari tempat kerja ayahku  ke rumah kami tidaklah terlalu jauh. Bisa ditempuh sekitar 15 menit saja dengan sepeda motor dengan kelajuan sekitar 60 Km/Jam. Tapi yang menjadi masalahnya, transportasinya yang sulit. Kalaupun ada, setiap  satu jam sekali baru ada kendaraan umum/angkot yang lewat.
Bisa juga sebenarnya dengan mengambil jalur memutar yang pastinya memakan waktu dan ongkos yang lebih besar, dan itupun harus menaiki dua kendaraan umum yang berbeda alias nyambung. Dan Jalur memutar inilah yang sering ditempuh ayah saat hendak pulang, ketika aku tidak bisa menjemputnya. Walaupun beliau sudah biasa pulang dengan jalur memutar itu, tapi hatiku tak tega ketika harus membayangkan dirinya kehujanan menunggu kendaraan umum di pinggir jalan, sementara aku dengan santai menonton TV di rumah. 

“CUKUPLAH SUDAH KELETIHANNYA BEKERJA MEMBUAT HATIKU MIRIS, TAPI TIDAK UNTUK YANG LAINNYA....”

Ketika aku tiba di tempat kerjanya, suatu pemandangan yang kembali menusuk hatiku terpampang di hadapanku. Dengan berlatar awan gelap sore itu kulihat ia berjalan sambil jongkok dari satu bagian ke bagian yang lain di atas atap rumah yang sedang dikerjakannya. Tangan kanannya memegang tang dan kawat, sedang tangan kirinya memegang sesuatu yang dapat dijangkaunya agar ia tidak jatuh terjerembap ke tanah, sedang pakaiannya penuh noda kecoklatan bekas tanah dan lumpur. Dalam hati aku berucap, “Ya Rabb, ampunilah dosaku, dan dosa kedua orang tuaku. dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku diwaktu kecil”.

Itulah ayahku, ayah no.1 di dunia. yang setiap pagi dia berangkat menuju tempat kerjanya yang tidak ber-AC, tidak dengan mengenakan setelan berdasi, dan juga tidak dengan mobil mengkilap. Walau terkadang mungkin rasa malas mencoba menahannya. Bukan karena apa-apa kawan, tapi karena keletihannya kemarin belum sepenuhnya terhapuskan oleh tidurnya tadi malam.

Dibawah derasnya guyuran hujan sore itu, terpampang suatu pemandangan yang mempertontonkan aku dan ayahku melaju di atas sepeda motor menembus guyuran hujan. Basah kuyup sambil  memicingkan mata menghindari tetesan air hujan yang menjadikan wajah kami sebagai sasarannya........


" CUKUPLAH SUDAH KELETIHANNYA BEKERJA MEMBUAT HATIKU MIRIS, TAPI TIDAK UNTUK YANG LAINNYA...."

Kunjungi Salam Aqiqah Untuk Kebutuhan Kambing Aqiqah Anda.

Komentar